Mitologi Hindu
Showing posts with label Mitologi Hindu. Show all posts
Showing posts with label Mitologi Hindu. Show all posts

Kresna / Khrisna

Kresna (Dewanagari: कृष्ण; IAST: kṛṣṇa; dibaca [ˈkr̩ʂɳə]) adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu, berwujud pria berkulit gelap atau biru tua, memakai dhoti kuning dan mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Legenda Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata menyatakan bahwa ia adalah putra kedelapan Basudewa dan Dewaki, bangsawan dari kerajaan Surasena, kerajaan mitologis di India Utara. Secara umum, ia dipuja sebagai awatara (inkarnasi) Dewa Wisnu kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu. Dalam beberapa tradisi perguruan Hindu, misalnya Gaudiya Waisnawa, ia dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan itu sendiri, dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan Wisnu atau Kresna, misalnya Bhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagawatapurana,
ia digambarkan sebagai sosok penggembala muda yang mahir bermain seruling, sedangkan dalam wiracarita Mahabharata ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Selain itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran filosofis, dan umat Hindu meyakini Bhagawadgita sebagai kitab yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani. Kisah-kisah mengenai Kresna muncul secara luas di berbagai ruang lingkup agama Hindu, baik dalam tradisi filosofis maupun teologis. Berbagai tradisi menggambarkannya dalam berbagai sudut pandang: sebagai dewa kanak-kanak, tukang kelakar, pahlawan sakti, dan Yang Mahakuasa. Kehidupan Kresna dibahas dalam beberapa susastra Hindu, yaitu Mahabharata, Hariwangsa, Bhagawatapurana, dan Wisnupurana. Pemujaan terhadap dewa atau pahlawan yang disebut Kresna—dalam wujud Basudewa, Balakresna atau Gopala—dapat ditelusuri sampai awal abad ke-4 SM. Pemujaan Kresna sebagai Swayam Bhagawan, atau Tuhan Yang Mahakuasa, yang dikenal sebagai Kresnaisme, muncul pada Abad Pertengahan dalam situasi Gerakan Bhakti. Dari abad ke-10 M, Kresna menjadi subjek favorit dalam seni pertunjukan. Tradisi pemujaan di masing-masing daerah mengembangkan berbagai macam wujud/aspek Kresna seperti Jagadnata di Orissa, Witoba di Maharashtra dan Shrinathji di Rajasthan. Sekte Gaudiya Waisnawa yang terpusat pada pemujaan kepada Kresna didirikan pada abad ke-16, dan sejak tahun 1960-an juga telah menyebar di Dunia Barat, sebagian besar disebabkan oleh organisasi Masyarakat Internasional Kesadaran Kresna (International Society for Krishna Consciousness - ISKCON).

Nama dan Gelar
Dalam aksara Dewanagari, Kṛṣṇa ditulis कृष्ण (dibaca [ˈkr̩ʂɳə]), dengan bunyi konsonan silabis Ṛ, atau disebut pula vokal Ṛ (dalam aksara Dewanagari disimbolkan dengan ृ, sedangkan dalam alfabet Fonetis Internasional disimbolkan dengan huruf [r̩ ]*dengarkan contoh bunyi). Dalam aksara Jawa, huruf vokal ृ tersebut dialihaksarakan sebagai huruf Pa cerek (huruf Ra repa dalam aksara Bali) yang melambangkan bunyi /rə/ daripada /r̩/ (ditulis dengan huruf Latin "Re"), karena bunyi konsonan silabis Ṛ seperti dalam bahasa Sanskerta tidak terdapat dalam bahasa Jawa dan Bali. Maka dari itu kata कृष्ण dialihaksarakan menjadi "Kresna" (dibaca [ˈkrəsna]).
Arca kresna di mayapur, India.

Kata kṛṣṇa dalam bahasa Sanskerta pada dasarnya merupakan kata sifat yang berarti "hitam", "gelap" atau "biru tua". Kata tersebut berhubungan dengan kata čьrnъ (crn, 'hitam') dalam rumpun bahasa Slavia. Sebagai kata benda feminin, kata kṛṣṇā digunakan dengan makna "malam, hitam, kegelapan" dalam kitab suci Regweda, dan sebagai iblis atau jiwa kegelapan dalam mandala (bab) IV Regweda. Untuk nama diri, kata Kṛṣṇa muncul dalam mandala VIII sebagai nama seorang penyair. Sebagai salah satu nama Wisnu, kata "Kṛṣṇa" terdaftar sebagai nama ke-57 dalam kitab Wisnu Sahasranama (Seribu Nama Wisnu). Berdasarkan nama tersebut, Kresna seringkali digambarkan dalam arca dengan kulit hitam maupun biru. Kresna juga dikenal dengan berbagai macam nama, julukan, dan gelar, yang mencerminkan berbagai atribut dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Dalam kitab Mahabarata dan Bhagawadgita, Kresna disebut dengan berbagai nama, sesuai karakteristiknya. Beberapa nama tersebut diantaranya: Acyuta (yang kekal; teguh); Arisudana (penghancur musuh); Bagawan (Yang Mahakuasa); Gopala (pelindung sapi); Gowinda (penggembala sapi); Hresikesa (penguasa indria); Janardana (juru selamat umat manusia); Kesawa (yang berambut indah); Kesinisudana (pembunuh raksasa Kesi); Madawa (suami dewi keberuntungan); Madusudana (pembunuh raksasa Madhu); Mahabahu (yang berlengan perkasa); Mahayogi (rohaniwan agung); Purusottama (manusia utama, yang berkepribadian paling baik); Warsneya (keturunan Wresni); Basudewa; Wisnu; Yadawa (keturunan Yadu); Yogeswara (penguasa segala kekuatan batin). Di antara berbagai namanya, yang terkenal adalah Gowinda, "penggembala sapi", atau Gopala, "pelindung para sapi", merujuk kepada pengalaman masa kecil Kresna di Braj. Beberapa nama lainnya dianggap penting bagi wilayah tertentu; misalnya, Jagatnata (penguasa alam semesta), terkenal di Puri, India Timur.

Penggambaran
kresna dengan atribut umumnya
Kresna dapat dikenali secara mudah dengan mengamati atribut-atributnya. Dalam wujud arca, Kresna digambarkan berkulit hitam atau gelap, atau bahkan putih. Dalam budaya pewayangan Jawa, Kresna digambarkan berkulit hitam, sedangkan di Bali, ia digambarkan berkulit hijau. Dalam penggambaran umum misalnya lukisan modern, Kresna biasanya digambarkan sebagai pemuda berkulit biru. Warna hitam merupakan warna Dewa Wisnu menurut konsep Nawa Dewata, sedangkan biru melambangkan keberanian, kebulatan tekad, pikiran yang mantap dalam menghadapi situasi sulit, serta kesadaran yang sempurna. Warna biru juga melambangkan langit dan laut, masing-masing bermakna luas dan dalam yang membentuk suatu ketidakterbatasan, sama halnya seperti Wisnu. Dia seringkali tampil dengan dhoti (semacam kemben) berbahan sutra berwarna kuning, melambangkan cahaya yang melenyapkan kegelapan. Kepalanya dihiasi mahkota dengan bulu merak, melambangkan galaksi berwarna-warni dalam kegelapan, atau pusat energi di atas indria. Penggambaran umum biasanya menampilkannya sebagai anak kecil, atau seorang lelaki dalam gaya santai, sedang memainkan seruling. Dalam wujud ini, ia biasanya ditampilkan berdiri dengan kaki yang ditekuk kemsamping. Kadangkala ditemani para sapi, menegaskan posisinya sebagai penggembala ilahi (Govinda). Dalam agama Hindu, sapi dianggap suci karena melambangkan Ibu Pertiwi.

Peran Kresna sebagai kusir kereta Arjuna di medan perang Kurukshetra, seperti yang tergambar dalam wiracarita Mahabharata, adalah subjek umum lain dalam penggambaran Kresna. Dalam hal ini, ia ditampilkan sebagai sosok pria, seringkali dengan karakteristik dewa-dewi dalam kesenian Hindu, misalnya banyak lengan maupun kepala, dan dengan atribut Wisnu, misalnya cakra. Sebagai seorang kusir biasa, ia ditampilkan dengan dua lengan. Lukisan gua dari masa 800 SM di Mirzapur, Uttar Pradesh, India Utara, yang menampilkan pertempuran kusir-kusir kereta kuda, salah satu di antaranya tampak akan melemparkan cakram yang kemungkinan besar dapat dikenali sebagai Kresna. Penggambaran dalam kuil seringkali menampilkan Kresna sebagai seorang pria yang berdiri tegak, dalam gaya formal. Dapat ditampilkan sendirian, dapat pula dengan figur terkait dengannya: Balarama (Baladewa — kakaknya) dan Subadra (saudari tirinya), atau istrinya yang utama yaitu Rukmini dan Satyabama. Seringkali Kresna digambarkan bersama dengan kekasihnya dari kaum gopi (wanita pemerah susu), Radha. Sekte Waisnawa di Manipur tidak memuja Kresna saja, tetapi juga aspeknya sebagai Radha Krishna, kombinasi antara Kresna dan Radha. Hal ini juga merupakan karakteristik dari aliran Rudra Sampradaya dan Nimbarka sampradaya, demikian pula aliran kepercayaan Swaminarayan. Tradisi tersebut memuliakan Radha Ramana, yang dipandang oleh pengikut Gaudiya sebagai wujud Radha Krishna. Kresna juga digambarkan dan dipuja sebagai anak kecil (Balakresna), dengan posisi merangkak atau menari, biasanya dengan mentega di tangannya. Perbedaan di masing-masing daerah tentang penggambaran Kresna dapat teramati dalam wujudnya yang bermacam-macam, misalnya Jagadnata di Orissa, Witoba di Maharashtra dan Shrinathji di Rajasthan.

Agni

Dalam ajaran agama Hindu, Agni adalah dewa yang bergelar sebagai pemimpin upacara, dewa api, dan duta para Dewa. Kata Agni itu sendiri berasal dari bahasa Sanskerta (अग्नि) yang berarti 'api'. Konon Dewa Agni adalah putra Dewa Dyaus dan Pertiwi.

Penggambaran
Sesuai dengan karakter yang dimilikinya, Agni dilukiskan sebagai dewa yang badannya berwarna merah, rambutnya adalah api yang berkobar, berkepala dua dan selalu bersinar, berdagu tajam, bergigi emas, memiliki enam mata, tujuh tangan, tujuh lidah, empat tanduk, tiga kaki, dan mengendarai biri-biri. Ciri-ciri yang dipaparkan tersebut memiliki arti dan filsafat tersendiri. Kadangkala ciri-ciri Agni tersebut berbeda dengan ciri-ciri Agni di suatu wilayah tertentu, karena penggambarannya juga tergantung pada persepsi masyarakat setempat.


Pemimpin Upacara
Dewa Agni sering disebut-sebut sebagai Dewa pemimpin upacara dalam kitab suci Hindu, Weda. Dewa Agni bergelar sebagai Dewa pemimpin upacara karena beliau ahli dalam segala hal yang berkaitan dengan upacara keagamaan. Dewa Agni pula yang diminta hadir dalam suatu upacara (terutama Agnihotra) sebagai duta para Dewa yang mempersembahkan sesuatu kepada-Nya (Tuhan). Dalam melaksanakan suatu upacara, Dewa Agni pula yang menjadi pendamping para pendeta.

Nama Lain
  • Witihotra (yang memberi pahala kepada para penyembah) 
  • Dhumaketu (yang bermahkota asap) 
  • Saptajihwa (berlidah tujuh) 
  • Grehapati (tuannya rumah tangga) 
  • Dananjaya (yang menaklukkan musuh)

Garuda

Garuda (Sanskerta: Garuḍa dan Bahasa Pāli Garula) adalah salah satu dewa dalam agama Hindu dan Buddha. Ia merupakan wahana Dewa Wisnu, salah satu Trimurti atau manifestasi bentuk Tuhan dalam agama Hindu. Garuda digambarkan bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah. Paruh dan sayapnya mirip elang, tetapi tubuhnya seperti manusia. Ukurannya besar sehingga dapat menghalangi matahari.
Bangsa Jepang juga mengenal Garuda, yang mereka sebut Karura. Di Thailand disebut sebagai Krut atau Pha Krut.
Indonesia dan Thailand menggunakan Garuda sebagai lambang negaranya.

Garuda Menurut Mitologi Hindu
Garuda adalah seekor burung mitologis, setengah manusia setengah burung, wahana Wisnu. Ia adalah raja burung-burung dan merupakan keturunan Kaśyapa dan Winatā, salah seorang putri Dakṣa.
Ia musuh bebuyutan para ular, sebuah sifat yang diwarisinya dari ibunya, yang pernah bertengkar dengan sesama istri dan atasannya, yaitu Kadru, ibu para ular.
Sinar Garuda sangat terang sehingga para dewa mengiranya Agni (Dewa Api) dan memujanya. Garuda seringkali dilukiskan memiliki kepala, sayap, ekor dan moncong burung elang, dan tubuh, tangan dan kaki seorang manusia. Mukanya putih, sayapnya merah, dan tubuhnya berwarna keemasan.
Ia memiliki putera bernama Sempati (Sampāti) dan istrinya adalah Unnati atau Wināyakā. Menurut kitab Mahabharata, orang tuanya memberinya kebebasan untuk memangsa manusia, tetapi tidak boleh kaum brahmana. Suatu ketika, ia menelan seorang brahmana dan istrinya. Lalu tenggorokannya terbakar, kemudian ia muntahkan lagi.
Garuda dikatakan pernah mencuri amerta dari para dewa untuk membebaskan ibunya dari cengkeraman Kadru. Kemudian Indra mengetahuinya dan bertempur hebat dengannya. Amerta dapat direbut kembali, tetapi Indra luka parah dan kilatnya (bajra) menjadi rusak.

Nama-Nama Garuda
Garuda memiliki banyak nama dan julukan. Di bawah ini disajikan nama-namanya berikut artinya:

Nama-Nama Lain Garuda :
  • Kaśyapi
  • Wainateya
  • Suparṇna
  • Garutmān
  • Dakṣāya
  • Śālmalin
  • Tārkṣya
  • Wināyaka

Nama-Nama Julukan :
  • Sitānana, ‘wajah putih hijau’.
  • Rakta-pakṣa, ‘sayap merah’.
  • Śweta-rohita, ‘sang putih merah’.
  • Suwarṇakāya, ‘tubuh emas’.
  • Gaganeśwara, ‘raja langit’.
  • Khageśwara, ‘raja burung’.
  • Nāgāntaka, ‘pembunuh naga’.
  • Pannaganāśana, ‘pembunuh naga’.
  • Sarpārāti, ‘musuh ular-ular’.
  • Taraswin, ‘yang cepat’.
  • Rasāyana, ‘yang bergerak cepat sebagai perak’.
  • Kāmachārin, ‘yang pergi sesukanya’.
  • Kāmāyus, ‘yang hidup dengan senang’.
  • Chirād, ‘makan banyak’.
  • Wiṣṇuratha, ‘kereta Wisnu’.
  • Amṛtāharaṇa, ‘pencuri amerta’.
  • Sudhāhara, ‘pencuri’
  • Surendrajit, ‘penakluk Indra’.
  • Bajrajit, ‘penakluk kilat’.

source: id.wikipedia.org

Dattatreya

Menurut kepercayaan umat Hindu, Dattatreya (Sanskerta: दत्तात्रेय; Dattātréya) adalah seorang dewa yang merupakan penjelmaan dari Trimurti (tiga dewa utama), yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Dattatreya lahir sebagai putera Resi Atri dan Anasuya. Nama Dattatreya berasal dari kata datta dan atreya. Kata datta berarti "diberi", oleh karena Trimurti telah memberikan perwujudan sebagai putera Atri dan Anasuya. Kata atreya secara harfiah berarti "putra Atri".
Dalam tradisi Natha, Dattatreya dianggap sebagai awatara atau inkarnasi dari Dewa Siwa dan sebagai Adi-Guru (guru pertama) dalam tradisi Adinath Sampradaya. Di India, Dattatreya dipuja oleh berjuta-juta umat Hindu dan berbagai tradisi dilakukan untuk memuliakannya.

Riwayat Dattatreya

Kelahiran

Umat Hindu mempercayai legenda yang cukup terkenal mengenai kelahiran Dattatreya. Konon pada suatu hari, Narada memuji-muji pengabdian Anasuya terhadap suaminya (patibratyam) dihadapan istri-istri Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa. Pujian Narada yang berlebihan membuat mereka iri. Mereka memohon kepada suami masing-masing untuk menggoyahkan iman Anasuya. Brahma, Wisnu dan Siwa pergi menemui Anasuya dengan menyamar. Pada saat itu Atri tidak ada di rumah.

Dalam penyamaran, ketiga dewa meminta makanan kepada Anasuya. Ketika Anasuya menyanggupinya, ketiga dewa menambahkan bahwa mereka akan menerima persembahan apabila Anasuya melakukannya tanpa memakai pakaian. Anasuya jatuh dalam dilema. Bila ia datang tanpa memakai pakaian di hadapan pria lain maka pengabdiannya (patibratyam) akan jatuh. Bila ia menolak, maka ketiga tamunya bisa memberinya kutukan. Anasuya merasa bahwa ketiga tamu yang dilayaninya bukanlah orang normal karena permintaan mereka yang aneh dan ia merasa dijebak agar menuju situasi yang rumit. Kemudian Anasuya berkomunikasi dengan suaminya melalui pikirannya dan berkata bahwa ia tidak takut untuk melayani tamunya tanpa memakai pakaian karena tidak dipengaruhi oleh nafsu.
Saat ketiga tamunya memohon makanan dan tanpa sengaja menambahkan kata 'ibu' dalam permohonannya, Anasuya merasa bahwa ia harus melayani tamunya dengan menganggap mereka sebagai anak dan memberi pelayanan seperti yang mereka minta. Oleh karena ketulusan hatinya dalam melayani permohonan tamunya, tiba-tiba ketiga dewa berubah menjadi tiga anak kecil. Seketika itu juga buah dada Anasuya mulai mengucurkan air susu. Ia menyusui ketiga dewa yang sudah berubah menjadi anak kecil, lalu ia menaruh mereka ke dalam keranjang. Ketika Atri datang, Anasuya menceritakan kejadian yang sudah terjadi. Ketika ketiga anak terbangun, mereka berubah kembali menjadi para dewa dan memberikan anugerah kepada Anasuya. Anasuya memohon agar ketiga dewa menjelma sebagai anaknya. Akhirnya permohonan Anasuya dikabulkan, ketiga dewa menjelma sebagai Dattatreya.

Pengembaraan

Semenjak usia dini, Dattatreya meninggalkan rumahnya dan mengembara dengan tubuh telanjang, dalam perjalanan spiritual untuk mencari pemahaman tentang "sesuatu yang mutlak". Dattatreya diduga mengembara di wilayah Karnataka Utara, melewati Maharashtra, dan menuju Gujarat sepanjang sungai Narmada. Dia mencapai pencerahan di sebuah tempat yang tak jauh dari kota yang sekarang dikenal dengan nama Ganagapur, letaknya di sebelah selatan Maharashtra. Jejak kakinya yang asli diduga terletak di sebuah tempat yang sunyi di puncak gunung Girnar.

Baladewa

Dalam mitologi Hindu, Baladewa (Sanskerta: बलदोव) atau Balarama (Sanskerta: बलराम; Balarāma), disebut juga Balabhadra dan Halayudha, adalah kakak dari Kresna, putera Basudewa dan Dewaki. Dalam filsafat Waisnawa dan beberapa tradisi pemujaan di India selatan, ia dipuja sebagai awatara  (inkarnasi dari Tuhan Yang Maha Esa maupun manifestasinya) keenam dari Maha Awatara dan termasuk salah satu dari 25 awatara dalam Purana. Menurut filsafat Waisnawa dan beberapa pandangan umat Hindu, ia merupakan manifestasi dari Sesa, ular suci yang menjadi ranjang Dewa Wisnu.

Kemunculan Baladewa
Baladewa sebenarnya merupakan Kakak kandung Kresna karena terlahir sebagai putera Wasudewa dan Dewaki. Namun karena takdirnya untuk tidak mati di tangan Kamsa, ia dilahirkan oleh Rohini atas peristiwa pemindahan janin.
Kamsa, Kakak dari Dewaki, takut akan ramalan yang mengatakan bahwa ia akan terbunuh di tangan putera kedelapan Dewaki. Maka dari itu ia menjebloskan Dewaki beserta suaminya ke penjara dan membunuh setiap putera yang dilahirkan oleh Dewaki. Secara berturut-turut, setiap puteranya yang baru lahir mati di tangan Kamsa. Pada saat Dewaki mengandung puteranya yang ketujuh, nasib anaknya yang akan dilahirkan tidak akan sama dengan nasib keenam anaknya terdahulu. Janin yang dikandungnya secara ajaib berpindah kepada Rohini yang sedang menginginkan seorang putera. Maka dari itu, Baladewa disebut pula Sankarsana yang berarti "pemindahan janin".
Akhirnya, Rohini menyambut Baladewa sebagai puteranya. Pada masa kecilnya, ia bernama Rama. Namun karena kekuatannya yang menakjubkan, ia disebut Balarama (Rama yang kuat) atau Baladewa. Baladewa menghabiskan masa kanak-kanaknya sebagai seorang pengembala sapi bersama Kresna dan teman-temannya. Ia menikah dengan Reawati, puteri Raiwata dari Anarta.
Baladewa mengajari Bima dan Duryodana menggunakan senjata Gada. Dalam perang di Kurukshetra, Baladewa bersikap netral. Seperti kerajaan Widarbha dan Raja Rukmi, ia tidak memihak Pandawa maupun Korawa. Namun, ketika Bima hendak membunuh Duryodana, ia mengancam akan membunuh Bima. Hal itu dapat dicegah oleh Kresna dengan menyadarkan kembali Baladewa bahwa Bima membunuh Duryodana adalah sebuah kewajiban untuk memenuhi sumpahnya. Selain itu, Kresna mengingatkan Baladewa akan segala prilaku buruk Duryodana.